Sebelum menulis artikel dengan tema pencapaian tertinggi ini, saya sengaja terlebih dahulu menengok arti kata pencapaian di KBBI. Dan inilah yang saya dapatkan;
Selama ini saya mengira, pencapaian itu identik dengan hasil. Namun kalau berdasarkan pengertian di KBBI, pencapaian ternyata lebih mengacu pada proses mencapai sebuah hasil atau target. Saya jadi ingat sebuah quote ciamik dari Mahatma Gandhi;
Kepuasan itu terletak pada usaha, bukan pada pencapaian hasil. Berusaha keras adalah kemenangan besar.
Siapa yang setuju dengan kalimat tersebut?
Kalau saya sih iyes. Hasil itu buat saya adalah hadiah dari sebuah konsistensi, usaha dan doa. Beruntungnya orang tua saya pun bukanlah typical orang tua yang melihat hasil, tapi lebih melihat proses.
Misal zaman sekolah dulu, setiap kali saya memperlihatkan hasil nilai ujian yang cukup baik. Pertanyaan ibu hanya satu. “Apakah nilai itu didapatkan dengan cara yang jujur?” Saat saya mengangguk, maka ibu akan mengelus rambut dan mengapresiasi nilai yang saya dapatkan.
Pertanyaan ibu tersebut sebenarnya tidak lahir begitu saja. Pernah suatu masa di saat masih duduk di bangku SD, saya menemukan kunci jawaban tes akhir semester di meja kerja ibu. Kebetulan ibu saya adalah guru SD. Melihat kunci tersebut, saya reflek membaca.
Besok paginya, kunci jawaban yang saya baca tersebut benar-benar keluar semua di soal tes. Otomatis nilai saya jadi bagus dong. Secara masih SD dan polos, saya berkata jujur pada ibu bahwa saya bisa dapat nilai bagus karena nggak sengaja membaca kunci jawaban di dalam tas ibu.
Ibu tak memarahi saya, hanya tertawa sebentar. Bukan menertawakan saya, tapi menertawakan kesalahan ibu meletakkan kunci jawaban sembarangan. Lalu diakhiri dengan menegur dan menasehati saya dengan halus.
Intinya, jangan pernah bangga dengan hasil yang baik jika proses yang saya lalui tidak dibaluri ketekunan, keseriusan dan kejujuran.
Pesan itu mendarah daging dan selalu terngiang sampai sekarang. Sejak saat itu, saya tak berani buka-buka berkas yang ada di meja kerja ibu. Termasuk saya tak berani lagi mencontek dan memberi contekan kepada orang lain.
Saya sih tak masalah kalau ada orang yang mencontek pekerjaan saya saat tes berlangsung, tetapi lakukan sendiri. Jangan sampai malah membuat saya susah, hehe.
Contents
Sudahkah Meraih Prestasi Tertinggi?
Nah, kalau ditanya apa pencapaian tertinggi yang pernah saya lakukan sampai usia 36 ini. Sejujurnya saya kebingungan. Buat saya, selama hidup belum berhenti, artinya proses berjuang belum berakhir.
Apapun yang sudah dan akan saya capai selama hidup, itu bukanlah pencapaian akhir ataupun tertinggi. Karena buat saya, pencapaian sebenarnya ya nanti. Saat kita wafat dan orang-orang mengingat kita dengan kebaikan yang telah kita tanam. Jika kita meninggal dan hanya meninggalkan kenangan-kenangan buruk dalam pikiran orang lain, mana berani kita membanggakan pencapaian-pencapaian duniawi yang pernah kita raih kan?
Pencapaian besar pada umumnya lahir dari pengorbanan yang besar, dan bukanlah hasil dari keegoisan.
Namun jika memang harus menjawab apa sih pencapaian tertinggi dalam hidup, berdasarkan quote dari Napoleon Hill di atas, mungkin 4 hal ini yang bisa saya sebut sebagai prestasi:
1. Menjadi Mahasiswa Berprestasi dan Lulusan Terbaik
Orang tua saya bukanlah orang berada, apalagi sejak saya duduk di bangku SMA. Perekonomian keluarga merosot tajam. Bisa mengantarkan anaknya hingga ke gerbang perkuliahan adalah kebanggaan besar buat bapak.
Satu pesan yang selalu saya ingat; buktikan pilihanmu dengan prestasi.
Ya, bapak dan ibu tak melarang saya mengambil jurusan apapun. Maklum kedua orang tua saya nggak merasakan kuliah. Jadi soal kuliah, mereka benar-benar memercayakan pada saya.
Alhamdulilah pesan bapak tersebut terbayar dengan kelulusan yang memuaskan. Lulus S1 tepat 4 tahun karena dulu di kampus saya nggak bisa percepatan semester. Jadi ya sudah ikutin paketan SKS yang diberikan.
Selama kuliah, sebenarnya saya cukup neko-neko wkwk. Saya bukan typical anak kuliahan yang hanya kuliah, lalu pulang. Saya aktif dalam berorganisasi, terutama teater. Yang menyebabkan saya sering pulang malam atau malah menginap di kampus.
Saya juga nggak rajin-rajin amat kuliahnya. Beberapa kali telat dan didadahin sama dosen. Tak sedikit pula membolos. Namun memang dasarnya jurusan yang saya pilih benar-benar saya sukai, saya menjalaninya dengan enjoy.
Tiap ujian tiba ataupun ada tugas ini dan itu, tak pernah sedikit pun membuat saya kesusahan. Di sela-sela aktif berorganisasi, saya selalu sempatkan membaca dan memahami isi materi. Alhamdulillah tiap semester tak pernah turun dari IPK tiga koma.
Beberapa kali diminta untuk mewakili fakultas hingga kampus mengikuti beberapa perlombaan. Dulu sih sebenarnya sebel, karena kurang suka ikut kompetisi ilmiah. Namun sekarang baru deh terasa manfaatnya.
Pada saat wisuda, bapak dan nenek dipanggil maju ke atas podium karena saya menjadi lulusan terbaik di fakultas. Alhamdulillah, senang rasanya bisa membuat bapak tersenyum bangga.
2. Survive dari Rumah Angkara
Keluarga saya bukanlah keluarga Cemara yang berbalut cerita indah dan penuh kasih sayang. Jika sahabat pernah berkunjung ke blog Marita’s Palace, mungkin sedikit banyak tahu bahwa saya besar dalam suasana semi broken home.
Kok semi, kek film xxx aja? Hihi.
Saya bilang semi, karena orang tua saya alhamdulillah tidak pernah bercerai. Hanya saja keduanya selalu bertikai hampir sepanjang hari. Awalnya saya menganggap itu hal biasa terjadi di setiap keluarga. Baru setelah saya berkunjung ke rumah teman, di mana kasih sayang melimpah, ayah dan ibunya hangat, saya baru tahu there’s something wrong in my home.
Meski begitu saya berusaha untuk deny setiap negative thinking yang muncul. Menguatkan diri sendiri bahwa it’s gonna be okay. Pada akhirnya semua hanyalah bom waktu. Setelah menikah dan punya anak bom itu akhirnya meledak juga.
Dari situlah kemudian saya mengenal istilah inner child, bagaimana cara mengelolanya dan juga belajar tentang teknik pengasuhan anak yang tepat.
Dulu saya sempat berada pada titik amarah, namun setelah semua terlewati saya tahu Allah mengajarkan banyak hal lewat Rumah Angkara — sebutan yang baru-baru ini saya dapatkan untuk family branding keluarga bapak dan ibu, wkwk. Anyway, itu sebenarnya akan menjadi novel pertama saya. Doakan semoga prosesnya lancar agar segera bisa diadopsi sahabat ya!
3. Resign dan Menjadi Full Time Housewife
Saya tak pernah sedikit pun bercita-cita menjadi ibu rumah tangga (IRT). Ibu saya pekerja. Saya biasa melihat ibu bekerja sebagai guru. Beberapa kali juga memberikan les anak tetangga. Lalu sebuah kondisi memaksa saya untuk menjadi IRT.
Sebagaimana IRT baru pada umumnya, saya pernah merasa down, tidak berguna dan tidak berprestasi. Namun bersyukur saya bertemu banyak komunitas yang memberikan positive vibe. Komunitas-komunitas tersebut mendukung saya untuk bertumbuh lebih baik.
Sekarang saya justru bersyukur menjadi IRT. Karena saat dulu masih bekerja di ranah publik, manalah sempat menjalani hobby dan passion. Yang diingat cuma kerja dari jam 8 pagi sampai 8 malam. Begitu aja setiap hari. Dengan jadi IRT, alhamdulillah hobby, skill dan passion jadi lebih terasah.
4. Menjadi Blogger
Karena titik nomor tiga lah, saya bisa mencapai titik nomor empat ini. Mana pernah saya mengira bisa menjadi professional blogger?
Dibandingkan para mastah saya sadar diri masih jauuuuuh sekali prestasinya sebagai blogger. Namun membranding diri sebagai blogger membuat saya bangga dan tersenyum lebar. Menjadi blogger telah meningkatkan kepercayaan diri saya.
3 Cara Mensyukuri Pencapaian Tertinggi
Sebagaimana yang saya sebutkan di atas bahwa pencapaian sejatinya berorientasi paa proses bukan hasil. Maka buat saya wajib banget untuk mensyukuri pencapaian tertinggi dengan cara yang baik, antara lain;
1. Jujur
Sebagaimana oesan pada bapak dan ibu untuk terus bersikap jujur dalam setiap kesempatan. Setiap aktivitas yang saya jalani harus menjiwai pesan tersebut. Misalnya dalam proses menjadi blogger profesional, saya berusaha sekuat tenaga untuk menghadirkan kejujuran dalam menghasilkan artikel dengan tidak melakukan plagiasi.
2. Konsisten pada Komitmen
Cara bersyukur selanjutnya yaitunya dengan konsisten pada komitmen yang telah dibuat. Misal, saat ini saya sudah memiliki 4 blog, maka saya harus bisa mengelola keempat blog tersebut sebaik-baiknya. Tidak boleh ada blog yang merasa cemburu dan dianaktirikan. Yaitu dengan membuat jadwal posting bergantian.
3. Terus Belajar dan Berjuang
Tidak boleh merasa cepat puas dengan apa yang sudah kita raih, karena di atas langit masih ada langit. Maka sudah sepatutnya selalu rendah hati dan tidak sombong. Terus update wawasan dan ilmu dengan belajar dari guru-guru terbaik. Banya baca informasi yang dibutuhkan. Serta terus berjuang pada pilihan hidup yang telah ditentukan.
Itulah sedikit catatan saya mengenai pencapaian tertinggi dalam hidup dan bagaimana cara mensyukurinya. Semoga bermanfaat, sahabat!
Banyak kali pencapaian tertinggi kk? Waw.. salut sama kk udah berani menentukan pilihan dan alhamdulilah sudah tepat. Saat ini saya uga baru menekuni dunia blogger kak. Berharap bisa menjadi blogger seutuhnya.
Boleh dong kak BW nya hehehe
Salam,
TOMTOMID
Terima kasih sudah berkunjung Kak. Otewe ke blog kakak.