Search

Kapan Pasangan Harus Memutuskan Bercerai?

kapan pasangan harus bercerai

Tentu saja tak ada satu pun pasangan di muka bumi yang ingin pernikahannya berakhir dengan perceraian. Kalau kata kak Virly K.A. dalam bukunya Life as Divorcee, perceraian adalah emergency exit yang Tuhan sediakan ketika kita nggak sanggup lagi berada dalam hubungan pernikahan. Lantas kapan harus memutuskan bercerai? Kita akan mencoba mengulik isi buku kak Virly lebih dalam ya.

Suatu hari saat duduk di bangku SMP, saya mengajukan pertanyaan kepada ibu, “Kenapa sih ibu dan bapak tidak bercerai saja?” Sepertinya ibu terkaget-kaget mendengar pertanyaan saya. Tak menyangka anak sulungnya akan menyodorkan pertanyaan tersebut.

Ibu tak langsung menjawab pertanyaan saya. Mungkin mencoba merangkai  kata yang tepat dulu agar bisa memuaskan anak gadisnya. Namun saya tak sabar menunggu jawaban. Kembali saya berkata, “Aku nggak apa-apa kok hidup berpisah dengan bapak. Kita bisa tinggal di rumah yangkung, kan?”

Lagi-lagi sepertinya ibu tak menyangka dengan solusi yang terpikirkan oleh saya. Fyi, bapak dan ibu saya rajin sekali bertikai. Tidak sekali dua kali, sepertinya hampir setiap hari, hingga kenangan masa kecil saya tentang kebahagiaan keluarga hampir tidak ada. Tertutup dengan kenangan pertikaian yang bertubi-tubi saya lihat.

Pengalaman tersebut membekas di jiwa saya dengan begitu dalam. Ada beberapa orang yang mengalami trauma ketika melihat sosok cinta pertamanya (bapak) berubah menjadi sosok yang memberikan patah hati pertama. Ada yang kemudian menghindari pernikahan, tidak percaya pada lelaki dan bahkan ada yang jadi berubah orientasi seksualnya.

Saya masuk ke dalam bagian yang tidak percaya pada lelaki. Hingga pada akhirnya ketika menjalin hubungan dengan suami, jatuhnya menjadi sosok yang posesif sekaligus haus kasih sayang. Ingin dinomorsatukan, tetapi bawaannya curiga melulu pada pasangan. Sebuah hubungan yang toxic alias tidak sehat.

Bukan sebuah perjalanan yang mudah jika kami masih bertahan hingga tahun ke-13. Selain kesabaran dari suami, kesadaran diri saya untuk berubah juga memegang peran yang cukup penting. Karena sejatinya tak ada yang mampu mengubah pikiran, sikap dan karakter kita selain diri sendiri.

Contents

8 Jenis Suami yang Layak Ditinggal Ala Virly K.A.

Nah, ngobrolin soal perceraian, kak Virly K.A. membahas printilan perceraian dengan lengkap dalam buku solonya yang diambil dari kumpulan postingan di blognya yang berjudul Jurnal Saya. Sebelum dibukukan, saya rajin membaca tulisan-tulisan yang awalnya dikumpulkan dalam satu kategori berlabel Life as Divorcee, yang kemudian menjadi judul bukunya.

Salah satu sub bab dalam buku tersebut yang mencuri perhatian saya adalah jenis suami yang layak ditinggal. Mau tahu apa saja jenisnya?

tipe suami buruk

  1. Pelit: suami yang punya kemampuan ekonomi cukup, tapi sengaja nggak mau memenuhi kebutuhan keluarganya.
  2. Genit: pastinya gelay banget kan hidup bersama laki-laki yang doyan tebar pesona ke sana ke mari.
  3. Narsistik: laki-laki yang egois dan mementingkan dirinya sendiri di atas yang lainnya.
  4. Berasal dari Keluarga Patriarki: keluarga yang selalu mengagungkan anak laki-laki, hingga sampai melarang anaknya membantu urusan rumah tangga. Keluarganya selalu minta dihormati secara berlebihan.
  5. Bossy: biasanya merupakan gabungan dari jenis ketiga dan keempat. Typical laki-laki ini sering semena-mena, bahkan bisa jadi melakukan KDRT jika keinginannya tak dituruti.
  6. Nggak Bisa Move On: terjebak pada masa lalu, entah itu mantannya semasa kuliah atau kejayaannya sebelum menikah, hingga akhirnya stuck di satu titik dan enggan berkolaborasi dengan pasangan.
  7. Nggak Mau Foreplay: hubungan seksual bukan hanya milik suami, sebagai istri kita juga berhak mendapat kepuasan yang sama. Laki-laki yang hanya mau memikirkan kepuasan diri sendiri, hanya akan membuat istrinya tersiksa batin terus-menerus.
  8. Inferior: tipe suami yang tidak percaya diri dan merasa kalah bersaing dengan prestasi istri. Hingga kemudian untuk menutupi rasa rendah dirinya, ia melarang istrinya berkegiatan dan memaksimalkan potensi yang dimiliki.

Tentu saja sahabat boleh tidak setuju dengan pendapat kak Virly K.A. Kalau sahabat ingin memasukkan jenis suami apa lagi ke daftar ini?

Kalau saya akan memasukkan jenis suami yang tidak bisa tegas. Buat saya sebagai seorang pemimpin, laki-laki harus memiliki ketegasan. Kalau tidak tegas, ia akan mudah disetir oleh teman-teman atau keluarga besarnya. Bahkan seringkali akan susah membuat keputusan. Lebih parahnya kalau sampai menomorsatukan teman dan keluarga besar disbanding anak dan istrinya. Buatku mending bye-bye aja.

Lalu jenis suami berikutnya yang ingin saya tambahkan adalah laki-laki yang nggak pernah beribadah dan nggak mau memperbaiki kualitas ibadahnya. Bisa jadi saat awal menikah, kualitas ibadah belum bagus, karena sama-sama menikah dengan cara jahiliyah (baca: pacaran). Tetapi saat sudah menikah, menunjukkan keinginan untuk belajar dan mau memperbaiki kualitas ibadahnya karena sadar diri tanggungjawabnya sebagai imam. Kalau setelah nikah bertahun-tahun, kok masih nggak terlihat perubahan kualitas ibadah, dan malah melakukan hal-hal yang melanggar aturan agama, saya rasa sudah jadi alasan kuat untuk ditinggalkan.

7 Penentu Kapan Pasangan Harus Memutuskan Bercerai

Dari hasil membaca buku Life as Divorcee dan mengolaborasikan dengan pengalaman hidup saya, berikut ini 7 hal yang bisa menjadi penentu kapan harus  memutuskan bercerai:

kapan memutuskan bercerai

1.       Saling Menyakiti

Ketika kebersamaan hanya menimbulkan luka satu sama lain, dan tidak ada keinginan untuk saling memperbaiki keadaan, alangkah baiknya berpisah baik-baik. Memaksakan terus bertahan hanya akan menimbulkan pertikaian demi pertikaian. Bahkan seringkali malah menghadirkan orang ketiga yang tak seharusnya datang.

2.       Tidak Ada Titik Temu

Masih berusaha mempertahankan, tetapi terus mentok karena karakter pasangan yang tak juga mau berubah. Sudah berusaha menghadirkan penengah, tetapi masih tak mendapat jalan keluar. Bisa jadi memang perpisahan adalah jalan terbaik yang bisa dilakukan daripada terus memaksa bersama tanpa ada kenyamanan.

3.       Kesalahan Berulang

Jika pasangan terus-menerus melakukan kesalahan fatal yang berulang, misal berselingkuh atau tukang mabuk. Menurut saya sudah warning alert level paling atas untuk mengakhiri pernikahan.

4.       Membawa Trauma Psikis Pada Anak

Adikmu masih butuh sosok bapak.” Itu alasan yang ibuku utarakan untuk menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum kecut mendengarnya. Entah kenapa orangtua selalu menjadikan anak-anaknya sebagai tameng untuk bertahan dalam sebuah pernikahan.

Sedangkan anaknya sudah eneg, nggak tahan dan nano-nano rasanya berada dalam keluarga yang seperti neraka. Bahkan di balik diamnya, siapa yang tahu ada luka sedemikian dalam di hati anak-anak melihat bapak ibunya terus bertikai, merasa tak dicintai dan dianggap keberadaannya.

5.       Terlalu Banyak Ikut Campur dari Pihak Ketiga

Menghadirkan penengah memang salah satu solusi. Namun ketika penengah yang dihadirkan tidak bisa bersikap netral dan malah memperburuk keadaan, sementara pasangan tak punya ketegasan dalam bersikap. Saya rasa jalan akhir yang bisa diambil adalah berpisah.

6.       Suami Ghosting

Pernah lihat laki-laki yang suka kabur tanpa pesan? Ada konflik dikit, lari dari rumah. Adu pendapat sedikit, menghilang dari pandangan. Ya mending kalau kasih kabar atau nafkah tetap jalan, tapi kalau terus-terusan menghilang tanpa kabar dan nafkah, patut dipertanyakan keseriusannya untuk melanjutkan pernikahan.

7.       KDRT

Siapa yang mau terus-terusan menjadi sasak tinju? Tubuh sakit, hati pun remuk redam. Bahkan psikis pun bisa rusak perlahan-lahan. Selamatkan diri sendiri, kita bisa memutuskan untuk tidak menjadi korban selamanya.

Bertahan Boleh Saja, Asalkan…

Tentu saja perceraian selalu menjadi jalan akhir. Jikalau pasangan masih bisa diajak berkomunikasi dengan baik, tetap bertahan dalam pernikahan tentu saja sebuah hal yang baik. Tentu saja pastikan 5 hal ini dilakukan.

mempertahankan pernikahan

1.       Perbaiki Hubungan dengan Tuhan

Kualitas pernikahan berbanding lurus dengan kualitas hubungan kita dengan Tuhan. Mendekat pada Tuhan, mempelajari lebih dalam ayat-ayat yang berbicara tentang pernikahan adalah jalan terampuh untuk bertahan. Mengejar ridho Allah dan bertumbuh bersama, belajar agama bersama-sama akan semakin menguatkan hubungan.

2.       Temui Konselor Pernikahan/ Psikolog Keluarga

Akan lebih baik jika sebelum memutuskan bertahan, kita temui dulu konselor pernikahan ataupun psikolog keluarga. Salah seorang teman psikolog saya pernah berkata, ‘hampir sebagian besar permasalahan dalam rumah tangga berhubungan dengan permasalahan diri sendiri di masa lalu yang belum usai.’

Tidak ada salahnya berikhtiar ke konselor pernikahan ataupun psikolog keluarga untuk mengetahui apa sih yang menjadi sumber permasalahan sebenarnya. Kita bisa dibantu untuk bicara dari ke hati dan meluruskan benang ruwet yang ada dalam rumah tangga.

3.       Stop Ungkit Luka Masa Lalu

Saat kita memutuskan untuk bertahan, maka stop ungkit-ungkit kembali luka lama. Membuka awal yang baru artinya kita berani untuk tidak membiarkan luka tersebut menjadi bayang-bayang seumur hidup.

4.       Jangan Bertikai di Depan Anak

Apapun alasannya, jangan pernah bertikai di depan anak. Apapun masalah pasangan suami istri, anak-anak sebaiknya tidak mengetahuinya. Biarlah mereka tetap mendapatkan haknya untuk dicintai.

Anak-anak akan tumbuh menjadi orang yang mudah menyalahkan diri sendiri ketika melihat ortunya terus-terusan bertikai. Beranggapan bahwa pertikaian tersebut hadir karena kenakalan mereka. Jangan biarkan self worth anak-anak hancur dengan memperlihatkan drama berkepanjangan. Sudah, biar sinetron Indosiar dan Penthouse saja yang banyak drama, keluarga kita jangan.

5.       Membangun Pondasi Dari Awal

Memilih bertahan, artinya kita memilih untuk membangun ulang bangunan yang tadinya sudah retak. Obrolkan lagi dari hati ke hati hal-hal yang kerap memicu pertikaian, dan cari solusi agar ke depannya tak perlu lagi terjadi. Rumuskan kembali visi misi keluarga agar pondasinya semakin kuat.

Bertahanlah karena kesadaran diri sendiri. Karena sejatinya mempertahankan pernikahan itu hanya butuh 1% kecocokan dan 99% penyesuaian. Masalahnya seberapa besar kita mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian tersebut, hanya diri sendiri yang sanggup menjawabnya. Kadar kekuatan dan kesabaran seseorang dalam beradaptasi tentu saja berbeda-beda.

Buat kita masalah besar, bisa jadi buat orang lain hanya masalah sepele. Begitu juga sebaliknya, buat kita sepele, ternyata buat orang lain masalah itu super besar dan tidak bisa ditolerir.

5 Obrolan Sebelum Menjalani Pernikahan

Bagaimana dengan para jomblowati yang kini semakin banyak menghindari pernikahan, saking takutnya melihat orang-orang terdekat gagal membina rumah tangga? Hey, sebenarnya yang menikah dengan bahagia juga banyak kok, hanya mata saja memang sepertinya lebih mudah mengabadikan hal-hal buruk dibandingkan hal baik.

Masih diambil dari buku Life as Divorcee, kak Virly K.A membagikan hal-hal yang harus dibicarakan sebelum memutuskan menikah. Hal ini juga perlu diketahui oleh sahabat yang kini sudah bercerai. Siapa tahu di depan sana Tuhan telah persiapkan laki-laki lain datang dalam kehidupan sahabat.

1.       Soal Hidup dan Prinsip

Jangan main-main dengan prinsip. Ya, saling melengkapi dengan perbedaan memang terdengar indah. Namun jika yang berbeda berkaitan dengan prinsip hidup, hal itu bisa membahayakan kesehatan  pernikahan. Oleh karenanya masalah prinsip hidup harus didiskusikan sebelum memutuskan menikah, untuk melihat sejauh apa kita mampu menolerir perbedaan tersebut.

2.       Visi dan Impian

Pasangan yang memiliki visi dan impian yang sejalan biasanya akan lebih mampu bertahan dibandingkan yang sejak awal tak tahu ke mana harus melangkah. Setelah saya ingat-ingat, satu hal yang menguatkan pernikahan saya adalah kami sama-sama tidak ingin mengulang sejarah yang sama dengan orangtua kami. Itulah yang kami pegang hingga detik ini.

3.       Soal Anak

Urusan anak juga menjadi hal yang harus dipikirkan matang-matang. Apakah pasangan tak masalah jika anak tak hadir dalam pernikahan. Lalu bagaimana nanti anak akan diasuh, dengan gaya parenting seperti apa. Ngobrolin hal ini sebelum memutuskan menikah akan membantumu memahami jalan pikiran pasangan. Apakah ia serius untuk melaju ke jenjang pernikahan atau tidak.

4.       Money Talks

Ekonomi adalah salah satu penyebab perceraian terbesar. Maka membicarakan urusan duit itu penting. Bagaimana nanti keuangan keluarga akan dikelola, apakah suami mengizinkan istri bekerja, dan pertanyaan-pertanyaan penting terkait keuangan lainnya.

5.       Sex Stuff

Poin terakhir ini saya rasa masih banyak yang menganggapnya tabu. Padahal penting juga membicarakan hal ini. Kita perlu tahu apakah pasangan tipe konservatif atau petualang? Hingga nantinya setelah menikah tidak perlu terkaget-kaget ketika pasangan meminta hal-hal yang buat kita terasa aneh.

Nah, gimana sahabat, apa sudah mulai mendapat pencerahan terkait kapan harus memutuskan bercerai? Tentu saja perceraian adalah solusi terakhir ketika segala usaha sudah dicoba. Bagaimanapun kita tentu tidak ingin melakukan hal yang dibenci oleh Allah kan?

Sama halnya dengan menikah, bercerai pun juga harus dipikirkan masak-masak. Jangan bertahan karena anak, jangan pula bertahan hanya karena takut dicap buruk oleh orang-orang. Jika bertahan hanya membuat diri sendiri terus terluka dan lebih banyak keburukan yang didapat, lantas apakah itu layak dilakukan?

buku life as divorcee

Baca buku Virly K.A. deh untuk mendapatkan insight keren tentang kehidupan menjadi seorang divorcee. Ditulis dengan bahasa yang santai, lugas tetapi penuh pemikiran yang dalam. Buku ini layak jadi bacaan yang bisa mengisi jiwa. Agar kita tak mudah menghakimi keputusan orang lain. Tak mudah memandang rendah pada orang yang memilih menjadi divorcee. Pun tak mudah meminta orang bertahan, tanpa tahu duduk perkaranya.

Tak hanya itu, di buku ini juga ada dibagikan tentang pre marriage talks yang wajib diobrolkan dengan calon suami sebelum menikah, tahapan co-parenting saat akhirnya memutuskan berpisah, cara menjelaskan pada anak, hingga tips mengelola keuangan bagi single mom. Buku yang tak terlalu tebal, namun isinya super ndaging.

Berikut ini info lengkap tentang bukunya;

  • Judul: Life as Divorcee
  • Penulis: Virly K.A.
  • Penyunting: Dyah Permatasari
  • Pemeriksa Aksara: Zaim Yunus
  • Penata Isi: Agus Teriyana
  • Ilustrator Sampul: Mohammad Sadam Husaen
  • Tahun Terbit: Januari 2021
  • Jumlah Halaman: vi + 138
  • ISBN: 978-623-94979-3-4
  • Penerbit: Buku Mojok Group

Akhir kata, semoga Allah lindungi pernikahan kita dari segala badai yang menghantam, hingga tak perlu mempertanyakan kapan harus memutuskan bercerai. Langgeng terus dengan pasangan ya, sahabats.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these <abbr title="HyperText Markup Language">html</abbr> tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

*