Huhuhu, sederhana tapi berat juga nih tema hari ini. Enaknya ditulis jujur atau lebay nih, Sahabat? Baiklah karena ini blog baru dan mungkin banyak pembaca yang belum kenal a woman behind the blog, cuzz lah yuk kenalan lebih dekat dengan 7 fakta tentang bunda Marita.
Contents
Let’s Choose: Fakta tentang Bunda Marita atau Opini?
Nah, biar seru, saya mau mengajak para sahabat bunda untuk menebak mana sifat yang termasuk fakta tentang bunda Marita, dan mana yang termasuk opini. Siap?
1. Confident vs Insecure
Kalau ada 2 kata di atas, manakah yang paling tepat menggambarkan saya? Sebagian besar orang yang mengenal saya sejak kuliah, akan bilang saya typical orang yang super pede. Dibuktikan dengan ikut kegiatan teater, dan sering mengikuti perlombaan-perlombaan yang diadakan kampus.
Fakta rahasianya, jauh di lubuk hati, saya typical orang yang sangat insecure. Saya pernah ada di titik tidak percaya diri dengan penampilan fisik. Saya merasa kurang cantik dibandingkan teman-teman. Di saat yang lain punya gandengan (baca: pacar), saya cuma jadi obat nyamuk sambil diam-diam jadi secret admirer seseorang.
Bahkan sampai sekarang kalau ada sesi foto-foto, saya memilih untuk nyempil di belakang. Kecuali fotografernya suami, baru deh saya bisa bergaya. Ya, hanya bersama suami saya bisa benar-benar menjadi diri sendiri.
Saya ikut teater waktu zaman SMA dan kuliah bukan karena pede sebenarnya, justru karena ingin meningkatkan kepercayaan diri. Selebihnya saya tertantang untuk memainkan beragam karakter. Kalau ditanya nggak grogi mbak di atas panggung.
Ssst, saya kasih tahu rahasianya kenapa saya nggak grogi ya. Saya kan punya minus tinggi. Nah, nggak semua karakter yang saya mainkan pas memakai kaca mata. Seringnya kaca mata harus dilepas saat pentas.
Saat itu belum kenal sama contact lens juga. Jadilah saya nggak bisa lihat wajah penonton. Yang saya ingat cuma karakter yang diperankan dan titik-titik lampu di mana harus berdiri. Hehehe.
Sementara kalau sering mengikuti perlombaan, sejujurnya itu bukan kemauan sendiri. Pihak kampus selalu memaksa saya untuk ikutan. Karena menunggu mahasiswa lain yang mau ikutan padahal sudah diiklanin berhari-hari, nggak ada yang daftar. Dan saya selalu gagal menolak permintaan para dosen. Alhasil terpaksa lah ikut kompetisi-kompetisi tersebut.
Terpaksa kok bisa menang? Lagi-lagi saya thanks to suami, dulu masih pacar, yang always supports me all the time. Termasuk yang mencarikan tema tulisan, mengetikkannya dan mempersiapkan presentasinya. Saya cuma tinggal maju aja, hehe.
Jadi ya kalau ditanya apakah saya percaya diri? Saat ini saya bisa bilang I’m more confident than before, meski masih ada beberapa insecurity issues yang saya miliki dan cukup mengganggu, but better lah.
2. Inspiring vs Toxic
Ketika ada orang yang mengomentari tulisan blog dengan kata inspiring kak, atau malah mengirim email dan japri via WA, bercerita bahwa ada tulisan saya yang bisa menginspirasi mereka, sejujurnya terkadang saya merasa takut.
Kek beban gitu. Merasa nggak pantas. Karena sejujurnya kalaupun saya terlihat baik, bukan karena saya benar-benar baik, tapi Allah yang menutup banyaka aib saya.
Tulisan-tulisan terkait parenting dan kesehatan mental yang saya bagikan di blog Marita’s Palace memang berupa pengalaman pribadi. Jadi kalau bisa menyentuh hati pembaca, Alhamdulillah.
Namun sebenarnya saya nggak se-inspiring itu juga sih, saya juga punya sisi toxic yang kalau orang lain tahu pasti bilang, “Ih nggak banget deh lu.” Saya tuh toxic banget sama mas pacar yang sekarang jadi ayahnya anak-anak. Super posesif dan nggak percayaan. Pokoknya mah mas pacar selalu salah aja di depan mata saya.
Sampai teman-teman mas pacar geleng-geleng lihat kelakuan nggilani saya. Hal itu terus berlanjut sampai tahun ketiga atau keempat pernikahan. Alhamdulillah kemudian saya mengenal istilah inner child dan pelan-pelan reparenting myself.
Sampai detik ini saya masih berproses dan bertumbuh. Bersyukur punya suami yang cukup sabar menanti ‘kesembuhan’ istrinya.
3. Independent vs Dependent
Saya dididik kedua orangtua untuk jadi anak yang mandiri. Misal, bapak nggak pernah mau mengantarkan saya ke sekolah meski beliau ada di rumah. Katanya nanti kebiasaan. Iya kalau bapak ada, kalau bapak pas nggak ada dan kamu sudah terbiasa diantarkan, nanti bingung.
Cukup diterima di akal sih. Apalagi aku tinggal di kota kecil, yang ke mana-mana dekat. Dan pastinya belum semenyeramkan sekarang ya. Sekarang mah, meski pengen anak mandiri, nggak mungkin juga kubiarkan anak-anak berangkat sekolah sendiri. Serem euy, hehe.
Di sisi lain, ibu juga selalu membiasakan saya untuk menyiapkan keperluan sendiri. Menata tas dan lemari saya sendiri. Apalagi saat saya sudah SD, saya diberi tanggungjawab untuk mengatur kamar sendiri. Mungkin juga karena anak pertama, jadi tanpa disuruh pun kemandirian itu sudah muncul dengan sendirinya.
Saya bukan typical orang yang mengikuti omongan teman. Misal, gank saya semuanya masuk IPA, lalu saya ikut-ikutan masuk IPA biar tetap sekelas. Itu bukan saya banget. Saya punya prinsip-prinsip tertentu yang nggak mau dimasuki orang lain, hehe.
Saat ibu jatuh sakit, saya dipercaya untuk mengelola keuangan rumah, berbelanja bulanan, memberikan gaji ART. Jadi cukup mandiri lah ya?
Then saya ketemu suami yang super memanjakan saya. Ke mana-mana diantar, dan semua yang saya minta sebisa mungkin dikabulkan. Saya nggak bisa tuh ngangkot galon atau ganti gas, semua suami bantuin.
Meski begitu bukan berarti saya benar-benar kehilangan kemandirian sih. Ada sebuah perkataan ibu yang selalu saya ingat.
“Jadi mandiri itu wajib, namun saat bersama suamimu, kamu juga perlu mengeluarkan sisi manjamu. Biarkan suamimu yang ngelead, biarkan suamimu muncul perasaan untuk ngayomi.”
Jadi gitu deh, saya bisa kok jadi sosok yang mandiri, tapi ada saat-saat tertentu saya sangat manja. Tentunya cuma sama suami, hehe.
4. Tough vs Fragile
Di usia saya yang ke-36 ini, saya menjadi saksi hidup bagaimana ibu kehilangan bayi-bayi kembarnya, pendarahan hingga berember-ember, ibu dan bapak hobi bertengkar dari yang B aja sampai luar biasa, punya adik kandung yang sejak lahir didiagnosa punya PJB (Penyakit Jantung Bawaan) hingga akhirnya wafat pada usia hampir 18, ibu saya diberikan kondisi istimewa selama belasan tahun mengalami semacam stroke dan kehilangan kemampuan motoriknya, bapak saya pernah kena serangan pendarahan otak.
Itu yang terkait keluarga. Dan saat ini bapak, adik dan ibu sudah berpulang ke rahmatullah. Tinggal saya sendirian di dunia ini. Eh nggak bener-bener sendirian juga sih, kan masih ada suami dan anak-anak, juga keluarga besar. Cuma memang beda ya rasanya kalau inner family sudah meninggal semua, suka bikin galau gitu deh.
Di sisi lain, saya pernah mengalami keguguran 2 kali. Belum ada apa-apanya sih pengalaman saya ini dibandingkan dengan ibu. Saya harus melahirkan anak-anak secara sesar, tanpa ditunggui ibu karena beliau sakit. Keadaan memaksa saya untuk cepat pulih agar bisa segera balik ke rumah, karena bukan bayi saja yang harus diurus, tapi juga ibu.
Semua peristiwa dalam hidup, segala asam manis pahitnya membentuk saya saat ini. Apakah semua yang saya lalui berhak mendapat label tangguh? Some says that. Honestly, saya terkadang fragile juga sih. Wong sama jarum suntik saja keder, wkwk.
Ya, terkadang orang lain menilai kita kuat karena lihat dari luarnya ya. Atau karena kita terlalu memandang rendah diri kita? Namun ada satu hal yang perlu kita yakini;
Allah memberikan kita masalah untuk mengeluarkan inner power yang sebelumnya nggak kita tahu. Jadi ya, I am tough, and so are you, sahabat bunda!
5. Diligent vs Lazy
Wuih, Mbak Marita rajin amat update blognya. Sepertinya cuma itu sih yang cukup menggambarkan sisi rajin saya. Karena di hal-hal lain saya bisa sangat mager. Contohnya, malas mandi, malas masak, malas makan, wkwk.
Saya tuh biasanya mandi kalau ada acara pergi aja, kalau nggak mandinya nanti-nanti, eh tiba-tiba udah malam dan kedinginan, terus dirapel deh mandinya keesokan harinya. Kalau masak biasanya kudu nunggu mood banget, baru deh kaki ringan ke dapur. Kalau moodnya belum datang, rasanya malaaas banget. Itupun di dapur nggak mau lebih dari sejam, terasa buang-buang waktu gitu, hihi.
Beneran mending disuruh nulis 10 artikel sehari daripada harus masak. Nah, saking kalau udah buka laptop lupa sama segala hal, saya sering banget lupa makan. Kalau ada suami biasanya disuapin doi. Kalau suami pas kerja, saya bisa makan hanya saat suami udah pulang kerja. Parah kan?
6. Curious vs Ignorant
Punya rasa ingin tahu besar dan pengen belajar ini dan itu, apakah ini cocok dengan fakta diri saya? Yup, untuk beberapa bidang tertentu. Terutama yang terkait parenting, mental health, religion, marriage, dan blogging. Di luar tema-tema itu, saya termasuk yang abai sih.
Ya banyak tema yang menarik, tapi saya selalu ingat petuah Ibu Septi Peni untuk memilih hal-hal yang benar-benar dibutuhkan dan harus berani berkata, “Hmm, hal itu menarik sih, tapi saya nggak tertarik deh.”
7. Extrovert vs Introvert
Kalau melihat saya sekarang banyak yang bilang saya mudah bergaul, punya banyak teman, suka ngomong di depan umum. Heyho, aslinya nggak seperti itu sih sahabat. Mungkin karena kondisi memaksa saya jadi pengurus beberapa komunitas, yang akhirnya mau nggak mau kudu speak up di depan publik, hal itu terbentuk perlahan-lahan.
Sebenarnya sih saya typical orang yang nggak begitu suka memulai pembicaraan, apalagi sama orang yang baru dikenal. Inner circle saya bisa dihitung dengan jari kok. Dan saya lebih suka rebahan di dalam kamar, nonton drakor di Netflix dan Viu atau baca buku, daripada harus datang arisan, wkwk.
Itulah 7 fakta tentang bunda Marita, kira-kira sudah bisa menyimpulkan mana yang termasuk fakta diri saya dan mana yang bukan, sahabat? Semoga dengan postingan ini, kita bisa semakin saling mengenal ya. Sampai jumpa di sapa salam lainnya ya!